PROFIL MUHAMMAD SYAHRUL KURNIAWAN
(centerback
timnas U19)
- Nama : Muhamad Syahrul Kurniawan.
- Umur : 18 Tahun
- Tempat/lahir : Ngawi, 5 Juni 1995.
- Alamat : Dusun Genggong, RT 01/RW 03, Desa Jogorogo, Kecamatan Jogorogo,
Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
Timnas Indonesia berhasil juarai Piala AFF U-19
setelah adu tendangan Penalti guna menundukkan Vietnam di partai final, Minggu
(22/9/2013) WIB. Sementara pemain belakang, Muhamad Syahrul Kurniawan (18), menjadi
salah satu pencetak sejarah persepakbolaan ini ternyata asli warga Ngawi, anak
seorang buruh tani.
Muhammad Sahrul
Kurniawan, salah satu pemain belakang tim nasional sepak bola Indonesia di
bawah usia 19 tahun ternyata berasal dari keluarga petani. Nyartono (57 tahun),
sang ayah, adalah seorang buruh tani dan Pariyem (51 tahun), ibunya, bekerja
sebagai pedagang pisang keliling. Penghasilan mereka per bulan terbilang minim.
Nyartomo (57) dan istrinya Pariyem (51) warga
Dusun Genggong, RT 01/RW 03, Desa Jogorogo, Kecamatan Jogorogo, Ngawi, saat
ini. Betapa tidak, meski keseharianya hanya sebagai buruh tani yang pas-pasan
ini mampu memberikan dorongan semangat putra bungsunya Muhamad Syahrul
Kurniawan (18) menjadi pesepak bola nasional yang berlaga di Piala AFF U-19
tahun 2013 dengan nomor punggung 13.
Sesuai penuturan langsung kepada media dirumahnya
yang cukup sederhana, Nyartomo menjelaskan secara detail bahwa putra bungsunya
dari empat bersaudara tersebut memang bakat menjadi pemain sepak bola sejak
duduk di bangku TK Al-Qur’an (Getar) sekitar tahun 2001 di wilayah Rawa Buaya,
Cengkareng, Jakarta Barat.
“Saat itu saya di Jakarta Barat sebagai buruh
serabutan sedangkan istri saya sebagai tukang cuci, kemudian sewaktu Syahrul
(Panggilan akrab dari Muhamad Syarul Kurniawan-red) masih di TK memang dia suka
sekali dengan namanya sepak bola,” terang Nyartomo, Minggu (22/09).
Setahun kemudian, karena kondisi sebagai pekerja
serabutan di kota besar sepi Nyartomo memutuskan pulang kampung ke
Jogorogo-Ngawi, meski demikian tanggung jawabnya sebagai ayah dari empat anak
tidak menyurutkan untuk kembali bekerja sebagai buruh tani di kampungnya.
Selanjutnya beber Nyartomo, ketika putra
bungsunya tersebut menginjak kelas V di SDN 1 Jogorogo minat akan bola terus
berkobar dengan modal nekat dia masukan ke Sekolah Sepak Bola (SSB) di Jogorogo
dibawah asuhan pelatih Surawan. Awal di SSB inilah Syahrul terus mengembangkan
bakat yang dimilikinya tidak pelak beberapa prestasi mulai diraih.
Dan lebih memprihatinkan lagi seperti penjelasan
Pariyem, tidak jarang sehabis main bola sepatu anaknya ini sering robek. Karena
tidak punya uang lebih guna membelikan sepatu bola yang berkwalitas terpaksa
sebagai seorang ibu, Pariyem mengaku menyuruh Syahrul untuk menjahitkan ke
tukang sepatu yang tidak jauh dari rumahnya.
“Karena hidup saya serba mepet apalagi bapaknya
hanya buruh tani, untungnya Syahrul ini sebagai anak serba penurut ketika harus
menjahitkan sepatunya yang rusak tanpa harus beli sepatu baru,” kenang Pariyem
dengan meneteskan air mata.
Kemudian setiap kali Syahrul main di ajang Piala
AFF U-19 saat ini dengan posisi sebagai pemain centerback (pemain
belakang-red), terang Nyartomo maupun Pariyem sebagai orang tua tidak punya
persiapan khusus dirumahnya.
Hanya saja Amir Suwanto salah satu kakak Syahrul
pergi naik bus menuju ke Stadion Delta Sidoarjo guna menonton langsung dimana
Piala AFF U-19 sedang digelar.
“Cukup menonton siaran langsung di televisi
bersama keluarga dirumah cuma tadi kakaknya melihat langsung ke Sidoarjo untuk
menonton langsung finalnya dan sampai hari ini sebagai ibu saya selalu puasa
untuk mendoakan Syahrul sukses membela timnya, dan baru berbuka puasa ketika
anak saya selesai bertanding,” urai Pariyem.
Sementara Surawan pelatih di SSB Jogorogo
menerangkan, Muhamad Syahrul Kurniawan salah satu mantan anak asuhnya yang kini
berlaga di Piala AFF U-19, memang bakat menjadi pemain sepak bola sudah
terlihat sejak awal masuk di SSB. “Sekitar 2008 lalu Syahrul gabung dengan SSB
dan dia ini diantara satu teman-temanya yang paling menonjol dari berbagai segi
baik skil maupun fisik,” bebernya.
Dan memasuki bangku SMA tambah Surawan, Syahrul
selalu diikutkan ke kompetisi sesuai kelompok umur dengan posisi sebagai kapten
tim terutama saat gabung di klub Margolangu FC yakni klub bola setingkat Kecamatan
Jogorogo.
Dan yang paling menonjol prestasi Syahrul jelas
Surawan saat mengikuti event Britama Cup U-16 di Kabupaten Ngawi tahun 2010.
“Saat bermain di Britama Cup, dirinya sebagai
kapten tim dan sudah terlihat mulai dari tingkat kedewasaanya, selain itu
Syahrul ini memang anak yang suka berlatih keras dalam bermain bola dengan
terlihat diluar jam latihan dia tetap melakukan latihan rutin seperti lari
ataupun olah skil lainya,” jelas Surawan.
Dari berbagai kompetisi inilah karir cemerlang
mulai menanjak dalam diri Syahrul terutama saat tanding di kompetisi Ngawi FC
Divisi 3 tingkat regional. Dan menyangkut lolosnya Syahrul ke timnas, Surawan
mengakui memang ada empat pemain yang diseleksi Indra Sjafri pelatih timnas
ketika di Ngawi akan tetapi hanya Syahrul sebagai pemain Persinga yang lolos
seleksi saat itu.
Kesederhanaan hidup
itulah yang mendorong Muhammad Sahrul Kurniawan, anak bungsu pasangan
Nyartono-Pariyem, untuk bangkit. Sejak berusia 11 tahun atau masih menjadi
siswa kelas V MTs Negeri Genggong, dia mulai mendalami sepakbola, yakni dengan
bergabung ke SSB Margolangu, Kabupaten Ngawi. Dari situlah kiprah pemuda pemalu
itu merangkak naik.
Sejak 2012, dia didapuk sebagai penyerang dari Persatuan Sepak Bola Ngawi (Persinga) junior. Hanya saja, kedua orang tuanya tidak bisa memberikan fasilitas lebih bagi Sahrul untuk mengembangkan bakatnya. Nyartono menuturkan, selama berlatih di SSB Margolangu, anak bungsunya itu hanya memakai sepatu bekas.
Sejak 2012, dia didapuk sebagai penyerang dari Persatuan Sepak Bola Ngawi (Persinga) junior. Hanya saja, kedua orang tuanya tidak bisa memberikan fasilitas lebih bagi Sahrul untuk mengembangkan bakatnya. Nyartono menuturkan, selama berlatih di SSB Margolangu, anak bungsunya itu hanya memakai sepatu bekas.
"Ada yang
dibelikan rombengan oleh kakaknya dan ada yang mengganti sepatu bekas milik
temannya. Kami tidak kuat membelikan sepatu baru," Nyartono menuturkan.
Pariyem, sang ibu
menambahkan sepatu bekas sepak bola Sahrul harus berulang kali dijahitkan.
Sebab, hampir setiap kali digunakan latihan alas kaki tersebut kembali rusak.
Hal inilah yang membuat perempuan paruh baya itu nelangsa kepada anak
bungsunya. ‘’Sepatue lungsuran (sepatunya bekas pakai). Dia nurut
saja,’’ tuturnya
Sebagai ibu, Pariyem
merasa bangga kepada Sahrul. Perempuan itu berharap agar keinginan anak
bungsunya menjadi pemain sepak bola profesional bisa terwujud. Dengan begitu,
cita-citanya untuk memperbaiki rumah orang tuanya juga dapat terlaksana.
"Arul (panggilan Sahrul) kepengen ndandani omah (ingin membenahi
rumah)," ujarnya. Rumah orang tua Sahrul memang terbilang sangat
sederhana, dindingnya masih berupa anyaman bambu dan berlantai tanah
0 komentar:
Posting Komentar